kayu manis

                “Jadi gimana?”


               Kamu berjalan setengah meter di depanku. Langkahmu besar-besar. Aku mesti berlari-lari kecil untuk menjajari langkahmu. “2 tahun kutinggal, kota ini sudah banyak berubah ya. Kenapa jadi banyak café? Warung angkringan kenapa digusur? Bang Joni gimana ya?”


                “… dan gimana kalau kamu jalannya diperlambat sedikit? Belanda nggak akan ngejar kita lagi kok, ngapain buru-buru..”


                Kamu berhenti, berbalik kemudian berdiri di hadapanku.


                “Aku pengen jalan-jalan muterin Malang, soalnya aku nggak tahu bisa balik sini kapan lagi.”


“Yah, jangan gitu dong. Cuma berapa ratus kilometer kan jauhnya dari sini.”


“Aku baru pulang kalau aku sudah bisa membalas dan bisa membahagiakan orang lain, terutama orangtuaku. Kalau untuk yang lain, hemm.. Aku orangnya seperti ini, kasihan perempuan yang cinta sama aku, aku nggak punya apa-apa.. Idealismeku ini harus bisa membayar semuanya.”


                “Kamu nyentrik!”


                “Kamu juga!”


                “Masak kalau mau jadi seniman kudu nyentrik? “


                “Masih suka putus asa?”


                “Masih sering telfon ibumu?”


                “Jangan pernah berhenti, kamu yang terbaik!”


                Aku terdiam. Kamu berbalik badan lagi. Laki-laki jangkung, gondrong tanggung, kurus, membawa bunga krisan putihku dalam planet merahnya.


                “Kamu … ,”desisku. “Jangan lupa berdoa untuk orangtuamu ya…” (dan untuk kita juga).


                Nikotin, kafein, dan kayumanis melebur dengan malam.


***


                “Halo. Kabarku baik, kamu? // Oke. Terimakasih ya. // Sama-sama.”


                Bertambah 300 km jauhnya dari sini.


                Wangi kayumanis itu berganti menjadi citrus.



“You are the sunlight in my eyes..lullaby is gays


You cast the fun time in my life


My song for you my sweet harmonized


life, for me to you, its why…” (Sore – Ernestito)

Komentar

Postingan Populer