Throwback: Cerita Happynya Bisnis Pertama Jual Jajanan Jadul 90-an
Image taken from pexels.com/Skitterphotos |
Belakangan ini, saya suka banget berselancar di TikTok. Kalau beberapa tahun yang lalu, Tiktok isinya video-video orang joget-joget saja, sekarang isinya lebih variatif dan bagus-bagus lho. Bahkan banyak hal yang baru saya tahu berkat sering nontonin For You Page-nya TikTok.
Salah satu tema video TikTok yang jadi favorit saya adalah ide-ide bisnis. Seriusan, itu inspirational banget. Misalnya ide jualan tote bag, jualan parfum, skincare, sleepwear, sampai hal-hal kecil seperti ide packaging.
Mungkin juga gara-gara banyak yang share ide-ide bisnis yang bisa dicontoh seperti ini, sekarang banyak bisnis-bisnis kecil yang terasa banget niatnya. Packagingnya bagus, treatment dan service ke pembelinya juga oke. Bikin ketagihan beli lagi, lagi, dan lagi. Padahal barangnya terkadang remeh banget lho, kayak stationery aja gitu.
Lihat video-video ide bisnis itu, jadi ingat di tahun 2013, saat masih kuliah semester akhir, saya dan teman saya namanya Agatha pernah iseng bikin bisnis kecil-kecilan jualan jajan jadul. Awalnya, iseng banget di hari Minggu kami ke Pasar Besar dan menemukan jajanan-jajanan masa kecil. Kami beli cukup banyak tuh, buat dicemil sendiri sih. Kemudian saya iseng fotoin dan nge-twit. Eh, banyak yang respon, pengen beli.
Akhirnya, kami berdua kepikiran, "Kenapa nggak dijadikan bisnis ya?" Untungnya lumayan, nggak gede effortnya, barangnya juga nggak mudah basi. Kami pun mulai tuh kulakan ke pasar, cari barang-barangnya. Bahkan Agatha pulang kampung ke Sidoarjo buat cari jajanan di pasar di sana yang lebih unik-unik.
Waktu itu kami sadar kalau cuma dijualin gitu aja, nggak ada istimewanya dong. Dikresekin doang? Hadeh, apa bedanya sama beli di warung? Jadilah, dengan bekal Agatha yang pinter gambar dan mendesain, kami mulai mengerjakan hal-hal di luar stok dan pengiriman. Apa itu? Tentu saja, branding-nya.
Mencari Nama yang Mudah Diingat dan Representable
Kalau prinsip saya, nama yang representable itu penting banget sih. Sebisa mungkin jangan mirip sama produk lain. Apalagi kalau produk lainnya itu sudah jadi top of mind. Contohnya kayak Vivo itu. Ada Vivo yang merk handphone, ada juga Vivo yang merk kondom. Kalau orang menyebut nama brand Vivo, pasti bakal bertanya, "Vivo yang mana nih?"
Memang perkara nama ini suka-suka pemilik brandnya sih. Tapi kalau saya pribadi nggak terlalu suka nama-nama yang kontroversial. Ambillah contoh nama bisnis kopinya Lucinta Luna itu.
Bikin Visual Asset dan Packaging
Setelah nama sudah terpilih, logo sudah jadi, saatnya bikin akun social media dan storytelling. Karena dulu kami nggak punya website buat jualan PKK itu (soalnya mahal dan waktu itu nggak ngerti sistemnya gimana), kami benar-benar memanfaatkan Twitter dan Facebook Pages buat jualan. Waktu itu Instagram juga masih sedikit pemakainya, nggak kayak sekarang.
Pokoknya kami memaksimalkan social media buat display barang-barang jualan kami sebagai katalog. Di kedua social media itu, kami update setiap hari stoknya berapa, apa yang lagi tersedia, kapan bisa PO.
Nggak lupa juga kami bikin storytelling biar lebih greget gitu. Contohnya, kami memanggil admin dengan sebutan Bu Min. Ceritanya Bu Min ini adalah ibu-ibu banget, ibu-ibu PKK gitu lho.
Kemudian sesekali ada tokoh rekaan namanya Pak Min (suaminya Bu Min) yang kalau pulang dari luar kota itu suka bawa oleh-oleh. Nah, Pak Min ini biasanya dikeluarkan dalam cerita kalau kami bikin paket-paket khusus begitu. Entah itu buat ngabisin stok atau kalau kami punya gift-gift lucu (dulu pernah ada paket isinya jajanan dan mainan ular tangga atau bongkar-pasang). Lucunya, orang-orang tuh kalau order, nyebutnya juga, "Bu Min, ada permen X nggak? Bu Min, paketnya Pak Min masih ada nggak?" :)))
Memang dari akun social media kami waktu itu sedikit followers-nya. Eh tapi ternyata impact-nya gede juga lho. Selain dari word of mouth teman-teman kami, juga dari orang-orang yang menemukan kontak kami di social media. Sampai kirim-kirim ke luar kota juga. Alhasil, dulunya seminggu sekali kulakan ke pasar, gara-gara makin ramai kami kulakannya 2 hari sekali. So happy!
Bisnis kami waktu itu berjalan sebentar saja. Mulai kewalahan seiring dengan kami berdua yang sudah makin sibuk dengan urusan akademis. Agatha masuk semester sibuk, saya ribet dengan penelitian skripsi yang sempat gagal itu huhuhu ... Sedih banget ketika orderan makin banyak, tapi kami nggak punya waktu untuk mengerjakannya dengan maksimal. Padahal untungnya lumayan, pake banget lho untuk ukuran bisnis yang nggak ngoyo, nggak perlu produksi, cuma modal foto-packing-kirim aja. Cukup banget buat nambah-nambah uang jajan.
Meski harus berjibaku dengan panasnya umpel-umpelan di pasar, nyari stok barang ke sana kemari kalau pas pada habis semua padahal udah banyak yang PO, kulakan berdua naik motor bawa kardus yang mana tinggi kardusnya sampai nutupin spion motor, kami sangat menikmatinya. Happy banget menenteng belanjaan, terus mengemas satu per satu pesanan, kirim ke JNE, dan sebagainya. Biasanya kami melepas lelah sambil makan pangsit mie atau tahu campur langganan di pasar tuh. Duh jadi kangen!
Ini pengalaman sederhana saya dalam memulai bisnis kecil-kecilan, bahkan mungkin super mini. Pengalaman ini sudah 7 tahun yang lalu ya, Teman-teman. Sekarang pastinya lebih banyak platform yang memudahkan untuk berjualan online. Yang penting adalah dimulai dulu. Itu adalah tips pertama dan yang terutama. Selanjutnya bisa dipelajarin sambil jalan. Tapi kalau nggak pernah dimulai, kita mah nggak akan pernah tahu ya. Gagal berbisnis itu pasti sedih, tapi dianggap sebagai biaya belajar aja. Lebih baik kalah perang 'kan daripada ngumpet di sarang.
Gimana dengan Teman-teman, punya cerita memulai bisnis pertama kali nggak? Share dong ~
Komentar
Posting Komentar
Thankyou for your feedback!