Bitter Sweet
Kedewasaan itu membuat kita berpikir terlalu rumit dan mengada-ada. Setelah kita dewasa, kebahagiaan itu diukur dari berapa jumlah gaji yang masuk bulan ini, berapa ceperan-ceperan yang bisa dihasilkan bulan ini, baju yang kenyamanannya diukur dari tag di bagian lehernya, berapa followers di Twitter atau berapa banyak perhatian dari lawan jenis yang mampir ke kehidupan kita. Di usia ini banyak diantara kita yang memimpikan bekerja di tempat yang berkelas, dengan jabatan yang sekali gajinya bisa sangat memuaskan batin.
Pernah sekali saya beradu pendapat dengan seseorang tentang cara saya bermusik. Ia bilang bahwa saya nggak akan mungkin bisa ‘jadi’. Karena menurutnya saya ‘idealis’, tidak menjual, masih kalah dibandingkan si XYZ. Hampir habis akal saya menjelaskan bahwa apa yang saya lakukan, bukan karena saya ingin mengumpulkan pundi-pundi emas darisana. Di mata saya, mungkin ia menganggap alasan saya mengada-ada,
"Aku nggak pengen jadi penyanyi kok"
"Lantas kalau begitu ngapain kamu masih mau menyanyi di depan banyak orang?
Karena saya suka menyanyi. Menyanyi membuat saya bahagia. Sayangnya saya gagal menjelaskan poin ‘bahagia’ (yang baru disadarkan oleh seorang teman saya) itu karena saya keburu kehabisan kata-kata.
Kemudian saya sadar. Alasan-alasan saya melakukan banyak hal di dunia ini adalah : ya karena saya suka. Alasan yang sungguh naif, mungkin tidak sesuai dengan umur yang sudah segini. Mungkin itu sebabnya, saya, punya keinginan yang sering ditertawakan banyak orang :
"Punya peternakan dan lahan pertanian, membangun rumah sederhana di dataran tinggi. Di sana saya bisa menghabiskan waktu menulis dan mendengarkan musik di udara yang sejuk tapi hangat. Damai. Kemudian tua nanti pergi mengendarai RV keliling dunia bersama partner-in-crime :)"
I do what I want, I do everything that makes me happy. Sebelum saya lupa dan Anda keburu menghakimi, lebih baik kita sepakati di depan : “Cita-citamu apa?”
Menguasai dunia
Komentar
Posting Komentar
Thankyou for your feedback!