Ketika Internet Bukan Menjadi Tempat Bermain Anak-anak
Image from: tumblr.com/leilockheart
Masih teringat jelas ketika saya di sekolah dasar, mata pelajaran TIK adalah mata pelajaran yang saya sukai. Satu jam pelajaran TIK dihabiskan dengan berlatih mengetik, menjalankan aplikasi, atau menggambar menggunakan aplikasi tertentu. Fun! Saat itu belum diperkenalkan internet. Jelas karena saat itu internet masih dianggap barang mewah jaman itu (15 tahun yang lalu), apalagi untuk anak SD yang untuk mengakses internet saja sangat amat terbatas. Warnet belum menjamur, apalagi modem dengan pulsa top-up internet yang murah. Bahkan saya ragu kakak saya yang beda usia 10 tahun dengan saya waktu itu, apakah sudah mengetahui internet dan penggunaannya.
Tapi itu 15 tahun yang lalu, dimana komputer dan penggunaannya masih terbatas di Indonesia. Saat ini realita telah bergeser. Internet di Indonesia bukan lagi barang mahal, bahkan internet seperti makhluk gaib, ada di mana-mana walaupun tidak bisa kita sentuh secara langsung. Siapapun sudah familiar dengan penggunaan internet, dari anak-anak usia preschool hingga orangtua mengetahui—paling tidak pernah mendengar—bagaimana penggunaan internet, bagaimana penggunaan social network, bagaimana menggunakan gadget yang tersambung dengan internet. Di pusat-pusat perbelanjaan ibu-ibu asyik berbelanja, sementara putra-putri kecilnya duduk di trolley belanjaan sembari bermain games di tablet (bahkan saya bisa pastikan anak-anak ini belum bisa membaca tapi sudah memahami perintah di games yang menggunakan Bahasa Inggris. Amazing ;p)
Saya bisa memastikan anak-anak SD masa kini tidak lagi mengoperasikan komputer seperti saat saya mengoperasikan komputer di usia mereka. Saya dulu menggunakan komputer untuk bermain games Barbie melalui CD Interaktif. Anak-anak SD jaman sekarang menggunakan komputer untuk bermain games .. iya, tetapi mereka bermain games di internet. Saya dulu menggunakan komputer untuk latihan supaya lancar mengetik tanpa perlu melihat keyboard, anak-anak SD saat ini menggunakan komputer untuk mengetikkan status update di Facebook/twitter.
Ya, mereka adalah generasi Mendatang, kata Don Tapscott dalam bukunya Grown Up Digital. Generasi X dan Generasi Mendatang (Next generation) adalah generasi masa kini, dimana generasi ini tidak perlu membaca buku manual untuk mengoperasikan teknologi tertentu. Mereka akan mengeksplorenya sendiri kemudian baru akan menengok buku manual saat menemukan kesulitan yang tidak bisa dipecahkan hanya dengan mengutak-atik sendiri. Berbeda dengan jaman orangtua kita yang lahir pada generasi Baby Boomer dimana mereka sangat mengandalkan membaca buku manual lebih dahulu sebelum mengoperasikan teknologi. Yap, generasi masa kini yang lebih pintar dan eksploratif dalam menggunakan teknologi, termasuk Internet.
Tapi, apakah kemampuan mengoperasikan secara teknis diikutisertai dengan kebijakan dalam menggunakan teknologi yang terhubung dengan internet?
Saya tidak bisa membuktikan secara empiris apakah Next Generation berapa persen tingkat ke-tidak bijak-an generasi ini dalam menggunakan Internet. Tetapi dengan banyaknya kasus-kasus cyberbullying, kasus penculikan yang awalnya dari perkenalan melalui social media, perilaku menyimpang akibat kecanduan game online hingga hacking yang kebanyakan dilakukan oleh mereka yang berusia remaja, bisa kita tarik garis besar bahwa generasi ini membutuhkan pendidikan literasi media. Literasi media ini, paling tidak dapat memberikan wawasan tentang apa yang kita lakukan menggunakan media internet punya konsekuensi yang luas dan tidak sesederhana yang dipikirkan.
Pendidikan literasi media. Terlihat berat dari konteks kalimat yang seakan pendidikan ini mesti melalui kurikulum dan pengkajian yang formal nan njlimet. Tetapi sesungguhnya pendidikan yang memberikan masyarakat wawasan tentang pentingnya melek media dan bijak menggunakan media adalah pendidikan yang sangat diperlukan di era informasi dan teknologi yang sangat pesat saat ini. Saya baru aware dengan kalimatan “literasi media” atau “media literacy” ketika kuliah karena saya berkuliah di jurusan Ilmu Komunikasi yang mana punya porsi lebih untuk mempelajari media. Setelah saya mengetahui media mempunyai dua sisi mata uang, saya merasa bahwa bukan hanya mahasiswa Ilmu Komunikasi yang membutuhkan pendidikan tentang media ini, tetapi juga semua orang. Termasuk anak-anak usia SD yang kini sudah sangat familiar dengan penggunaan internet.
Beberapa hari ini linimasa Twitter ramai memperbincangkan tentang rencana Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk menghapuskan pelajaran TIK, Bahasa Inggris, dan Penjaskes dari kurikulum pendidikan Sekolah Dasar. Ketiga pelajaran itu diposisikan sebagai mata pelajaran ekstakurikuler setara dengan pelajaran Pramuka, UKS, Marching Band dan lain-lain. Saya pribadi tidak setuju penghapusan ketiga mata pelajaran itu meskipun memang beban belajar murid SD saat ini bisa dibilang berat (dari jam 07.00-14.00). Tetapi, tetap ketiga mata pelajaran itu tidak bisa disamakan posisinya sebagai mata pelajaran ekstrakurikuler, khususnya untuk Bahasa Inggris dan TIK. Bahasa Inggris diperlukan dalam kurikulum, karena tidak semua orangtua mampu membiayai biaya les Bahasa Inggris tambahan di kursus-kursus.
Dalam hal TIK, ketika pelajaran TIK diposisikan hanya sebagai mata pelajaran yang mengajarkan teknis penggunaan aplikasi (seperti yang diajarkan pada angkatan saya dulu), maka memang pelajaran TIK bisa dipandang sebagai pelajaran ‘kelas dua’. Anak-anak jaman sekarang tidak lagi memerlukan materi pengajaran tersebut (kembali lagi pada penjelasan Don Tapscott di atas). Justru, mereka yang kini telah lebih canggih dalam pengoperasionalan komputer/smartphone, membutuhkan pendidikan literasi media untuk menimbang manfaat dan konsekuensi penggunaannya. Bahkan, di Jerman, Amerika, dan Inggris pendidikan media literasi sudah diperkenalkan sejak di tingkatan sekolah dasar!
Apakah ini terlihat berat untuk anak SD? Menurut saya tidak. Para penggagas bisa merancang teaching plan yang fun dalam games, simulasi atau mini essay, misalnya dengan menunjukkan kata-kata mana yang layak/tidak layak ditampilkan di akun social media, menayangkan video / infografis tentang cyberbullying, menuliskan tentang apa yang dirasakan orang lain jika dihina melalui social media dan dibaca oleh banyak orang dan masih banyak lagi.
Masih banyak orangtua menganggap bahwa media dan internet adalah tempat bermain virtual bagi anak-anaknya tanpa tahu ada yang mengintip dari ketidaktahuan akan bahaya-bahaya penggunaanya yang tidak bijak. Padahal, saat ini kita terkepung oleh media dan internet. Di saat televisi membangun hiperrealitas melalui tayangan-tayangannya, internet mengunci kita dalam dunia ‘gaib’ yang tak tersentuh, dan derasnya arus informasi yang tak mudah dibendung. Kecerdasan dalam menggunakan teknologi baru tentunya mesti diimbangi dengan knowledge yang cukup tentang kebijakan dalam pemanfaatannya. Cara yang bisa dilakukan untuk mengontrolnya adalah dari dalam diri sendiri dengan bekal pengetahuan yang cukup sejak dini.
Now, life is in our thumbs. We decide! ;)
Komentar
Posting Komentar
Thankyou for your feedback!