Tentang Mulut Yang Diwakilkan Oleh Jari
Di masa sekarang ini, suara dan opini bisa diwakilkan oleh jari. Buktinya, ramai-ramai pilpres kemarin dikarenakan tulisan. Perasaan yang tidak bisa disampaikan oleh mulut, disampaikan lewat tweet, postingan di Facebook dan Path. Mengedukasi orang lain yang letaknya jauh dari kita, bisa juga lewat tulisan di blog.
Rene Suhardono, dalam bukunya The Ultimate-U seri ke-2 mengatakan: "Writing is caring". Menulis sama artinya dengan peduli. Pak Prigi Arisandi, direktur Ecoton saat bicara di acara #NgaBLOGburit Aqua Pandaan 19 Juli 2014 lalu juga mengatakan: doronglah masyarakat menyadari isu dan membuat pemerintah bergerak lewat tulisan.
Sejak bergabung di Kumpulan Emak Blogger dan beberapa komunitas blogger, saya melihat ada banyak kompetisi menulis ataupun inisiatif blogger sendiri untuk menulis tentang hal-hal yang dekat dengan masyarakat. Hal ini pastinya sangat membantu orang lain untuk mencari informasi. Tetapi apakah informasi yang didapat dan ditulis bisa dipertanggungjawabkan?
Sebutlah ada sebuah situs yang bernada menghasut seseorang dengan bernuansa SARA, sebutlah ada seorang blogger ternama yang (kabarnya) mengatakan seorang tokoh agama beraliran sesat, sebutlah sebuah tweet yang ditulis menyakitkan hati sahabat sendiri ...
"Lho ya valid, wong saya dapet infonya dari bla bla bla dot com kok!"
"Lho ya valid, wong yang nulis si X, dia kan tokoh ..."
Validasi sumber informasi itu tidak serta-merta karena dot com-nya. Dot com bisa dibeli dengan harga murah, ada yang Rp. 50 ribu per tahun. Si X memang tokoh, tapi siapa tahun akun social medianya lagi diretas pihak yang tidak bertanggungjawab. Kita memang akan kesulitan melacak kepala dan jari siapa yang menulis pesan-pesan tidak bertanggung jawab di social media karena di social media seseorang bisa menjadi siapapun yang ia kehendaki. Aman, karena berada di balik layar. Gampang, karena sekarang data virtual bisa diunduh dengan mudah dan Anda bisa meng-impersonasi orang lain dengan data tersebut. Sekalipun IP bisa dilacak, tapi bukan perkara teknis semata yang jadi masalah.
Tapi sampai di mana tanggungjawab sang penulis terhadap apa yang ia lontarkan?
Siapa yang tahu? Barangkali sekarang yang tahu diri kita sendiri, Tuhan dan jempol masing-masing.
Komentar
Posting Komentar
Thankyou for your feedback!