Atlesta - Inner Feelings Collection Part 1: Merangkum Gaduhnya Perasaan Manusia
taken from instagram.com/atlesta |
Jika ada orang yang pengen saya pinjem isi otaknya, salah satunya adalah Fifan. Iya, si 'Atlesta' yang suka dikiranya adalah musisi dari Jakarta atau Bandung (padahal 'from Betek with love' 😂) Setiap kali kemunculannya dengan kabar karya baru, saya yakin itu adalah sesuatu yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya.
Atlesta seolah tidak pernah kehabisan konsep baru, baru, baru dan baru. Hats-off, hal yang sulit menciptakan sesuatu yang berbeda dari sebelumnya. Dari sudut jalan Kayutangan saat kami ngopi pagi-pagi (iya, ngopi jam tujuh pagi, kurang antusias apa hidup kami?), obrolan mengalir. Bahwa berkutat dengan hal kreatif itu sulit, apalagi harus menemukan sesuatu yang baru. Bahkan kami sama-sama merasa stres karenanya. Tapi, terkadang stres itu justru menciptakan sesuatu yang nggak terpikirkan sebelumnya.
Inner Feelings Collection Part 1 diluncurkan tanggal 3 April 2020 yang lalu. Tepat saat dunia sedang berkutat #DiRumahAja gara-gara pandemi Corona. Oke, menurut saya ini momen yang tepat karena di masa ini semua orang menghabiskan waktunya dan membunuh kebosanannya, melalui internet. Dan Atlesta menyodori track-track yang seolah menarik kita ke sebuah ruang karantina yang sebetulnya sudah kita huni sehari-hari, yaitu inner feelings kita masing-masing.
I'm not good on writing music review, karena pengetahuan musikku juga tidak oke-oke amat dan ini adalah pendapat yang sangat personal. But let me try to describe what's on my mind while listening to this pieces.
Kompilasi Inner Feelings Collection Part 1 ini berisi 13 track. Sebelas track instrumental dan 2 track lainnya dengan narasi.
90% track di kompilasi ini banyak bermain dengan ambience dan noise alias lo-fi. Inilah yang membedakan dengan album Atlesta yang sebelum ini, Gestures. Di Gestures, semua terasa begitu dinamis, cepat dan menggelegak. Di Inner Feelings Collection Part 1, semuanya terasa begitu dalam, lambat dan sangat personal. Serupa menggambarkan apa yang disebut di dunia psikologi sebagai Peeling The Onion, di mana manusia punya lapisan-lapisan diri yang terdiri dari memori, persepsi dan trauma, hingga yang paling dasar adalah core issue-nya.
Baca Juga: Gestures, Cara Atlesta Bercerita Tentang Kehidupan Secara Lebih Intim
Itulah ajaibnya musik instrumental ya, sangat interpretatif, karena kita dituntun untuk mengaktifkan the onion itu tadi untuk mengawinkan apa yang kita dengar dengan yang terjadi pada diri kita. Ajaibnya lagi, musik instrumental bisa membawa kita hadir di suatu tempat atau situasi, yang kadang kita juga belum pernah ada di sana. Seperti track 'Bedroom Conversation' yang saya bayangkan ada di dalam suatu kamar temaram, mengobrolkan hal-hal yang essensial, seperti kenapa Tuhan menciptakan perang hingga apa tujuan kita hidup di dunia ini, entah lawan bicaranya adalah pasangan kita atau pun alter ego kita sendiri.
Ada track 'Paris (No) Weekend' yang pastinya sudah tidak asing buat yang pernah pada masanya menggandrungi album Sensation. Yes, Atlesta menjadi cukilan part keyboard dari lagu 'Paris Weekend' di album Sensation yang sangat ear catchy itu jadi track baru. Ini bikin saya ingat, kami pernah ngobrol saat hearing dua tahun lalu,
"Fan, asline yo albummu Sensation itu lek mbok bawa di masa sekarang, meledak paling o. Kamu iki kecepeten metune." (Fan, sebenarnya album Sensation-mu itu kalau kamu bawa di masa sekarang, sepertinya bakal meledak. Kamu ini terlalu cepat (momen) keluarnya.)
Baca Juga: Atlesta: 'Sensation', Masih Seksi Tapi Lebih Elegan
Track 'The Idea of Being Lonely but Happy' adalah track yang diisi dengan nyanyian yang monoton sepanjang separuh perjalanan lagu dan bagian akhir. Seolah ingin menggambarkan situasi di mana seseorang (berusaha) baik-baik saja di tengah kesendiriannya. Entah kenapa bagi saya judul lagu dan vibes yang dibangun ini agak ironis dan kontradiktif. Lonely, but happy, huh? Yakin lonely, bukan alone?
Track nomor 8, 'The Woman's Body (Not The Man One)' diisi dengan suara dua orang perempuan yang membacakan narasi tentang bagaimana tiap orang sebetulnya berhak memiliki tubuhnya sendiri, tanpa intervensi siapapun. Setahu saya, ide dari track ini diambil dari pengalaman peserta Duduk Melingkar, kegiatan yang diinisiasi Fifan yang mengumpulkan beberapa strangers untuk menceritakan kehidupannya, yang bahkan belum pernah diceritakannya ke orang lain. (Memang, terkadang bercerita ke orang asing lebih melegakan ya?)
Inner Feelings Collection Part 1 ditutup dengan track My Favorit Notification, yang berisi rekaman pembicaraan Fifan dengan kekasihnya, dengan iringan piano yang sederhana. Yang satu ini bisa memunculkan dua hal: Buat yang belum punya pasangan, mungkin membayangkan 'enak kali ya bisa ngobrol kayak gitu sama pasangannya'. Dan yang sudah punya pasangan tapi berasa tidak punya pasangan alias hampa ... ya begitulah, lanjutkan sendiri, hehehe.
Ketika saya mendengarkan kompilasi ini, saya ingat dulu pernah senang mendengarkan albumnya Arms and Sleepers yang Matador (2009). Mungkin kalau album Matador ini keluarnya di tahun 2020 dan diramu sama Atlesta, jadinya ya Inner Feelings Collection Part 1 ini.
Karena ada 'Part 1'-nya, sepertinya Atlesta akan menyiapkan part-part selanjutnya yang mungkin akan melengkapi perpustakaan emosi kita yang diterjemahkan dalam bentuk musikal.
Merangkum apa yang saya rasakan ketika mendengarkan Inner Feelings Collections Part 1 dalam tiga kata:
Deep, Chill and Cinematic
Tulisannya selalu menggugah selera.
BalasHapus